Kisah tentang penindasan Bangsamoro, boleh kita mulakan dari satu nama yang dianggap satu dari seratus manusia paling berpengaruh, oleh Michael Hart. Namanya Ferdinand Magellan (1480-1521), seorang yang mendapat sematan nama sebagai penjelajah besar yang mengelilingi dunia. Michael Hart mengarungi dunia dengan membawa lima kapal, 265 awak-awak/anak kapal selama hampir tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, yang berhasil kembali dengan selamat hanya satu kapal, dan 18 anak buah kapal yang hidup selamat. Ferdinand Magellan sendiri termasuk yang tewas di tengah perjalanan.
Pada tahun 1509, ekspedisi Ferdinand Magellan sampai di wilayah Nusantara. Ternyata tak hanya ekspedisi, Ferdinand Magellan juga membawa misi lain, iaitu kolonialisasi Sepanyol dan misi Kristinisasi. Terjadi pertempuran di wilayah Malaka, karena rakyat menolak kedatangannya. Pada tahun 1521, ekspedisi ini diteruskan dan mereka berjaya menjejakkan kaki di kepulauan Filipina. Proses Kristianisasi dan kolonialisasi langsung terjadi di negara tersebut.
Raja Humabon, bersama rakyat Cebu berjaya dimurtadkan dari agama Islam dan dikristiankan. Bahkan Ferdinand Magellan menggelarkan bahwa rakyat Cebu adalah warga Tuhan Spanyol. Di wilayah Utara proses Kristianisasi terus berlangsung dengan lancarnya. Tapi ketika sampai di wilayah Selatan Kepulauan Filipina, terutama di Mindanao dan Sulu, rakyat yang sebahagian besar telah menjadi Muslim sejak lama memberikan perlawanan yang sengit meski dengan senjata sederhana.
Program Gold, Glory and Gospel terhenti di wilayah selatan Filipina, seperti Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya. Kaum Muslimin melakukan perlawanan dengan gigih dan berani, meskipun Sepanyol menyerang mereka dengan senjata canggih.
Jauh sebelum Ferdinand dan penjajah Sepanyol membawa agama Kristian ke negeri ini, hampir sebagian besar penduduk kepulauan Filipina telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jejak keislaman mereka, bahkan hingga kini masih ada dan tak mampu dihapuskan oleh penjajah. Nama ibukota Filipina misalnya, Manila diambil dari kata bahasa Arab, Amanullah yang berarti negeri Allah yang aman. Bahkan di wilayah ini pernah berdiri kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Tondo.
Seperti halnya Indonesia, Filipina adalah sebuah negara yang terdiri dari kepulauan dengan jumlah yang sangat besar. Tak kurang 7107 pulau berada di dalam teritorial Filipina. Islam telah berkembang di wilayah ini sejak abad ke-14. Ertinya, jauh sebelum masa itu Islam telah menjejakkan kakinya dan memberikan sentuhan dakwah pada penduduk setempat. Sampai pada satu titik, seorang raja yang sangat ternama di Manguindanao bersyadahat dan memeluk Islam. Kekuasaan sang raja membesar sampai ke Davao, Tenggara Mindanao dan Islam pun kian menyebar sampai ke Pulau Lanao, Zamboanga dan hampir ke seluruh daerah garis pantai kepulauan Filipina. Tapi ada juga legenda yang menyebutkan, Islam pertama kali dibawa oleh seorang sufi bernama Karim al-Makdum yang berlayar dengan mangkuk besi, boleh berjalan di atas air dan dikhabarkan boleh terbang oleh disebabkan karomahnya.
Sejarah mencatat, ulama-ulama Indonesia berperan besar dalam penyebaran Islam di Filipina. Bahkan disebutkan, seorang pangeran dari Menangkabaw atau Minangkabau bernama Baguinda adalah salah satu pendakwah Islam di wilayah ini, terutama di Sulu, Zamboanga dan Basilan. Kerana itu, tak hairan jika sampai hari ini kita boleh mendapatkan banyak kemiripan antara Indonesia dan Filipina, terutama di wilayah Selatan. Wajah dan postur tubuh, tak jauh berbeza. Bahasa dan kata, banyak yang sama. Contohnya, untuk hidung, mereka menyebutnya hidung. Telinga bergeser sedikit menjadi inga. Kita bahkan menggunakan kata yang sama untuk pintu, kanan, murah, mahal, gunting, balai, aku, kita dan masih banyak kata sama lainnya.
Islam pernah menjelma sebagai kekuatan besar di wilayah Filipina, dan diwakili oleh Kesultanan Sulu. Wilayah kekuasaan Sulu membentang dari Mindanao hingga Sabah di Malaysia. Kesultanan Sulu dipimpin oleh Sharif al-Hasyim Syed Abu Bakar yang menikahi putri Raja Baguinda dan kemudian mendapat gelar Paduka Maulana Mahasari. Sejarah Kesultanan Sulu menerangkan, Sharif al-Hasyim masih memiliki darah keturunan Rasulullah dari Bani Hasyim.
Dari wilayah inilah perlawanan berlangsung dengan sengit ketika penjajah Sepanyol menunjukkan kuku dan taringnya. Tak jauh berbeza dengan yang terjadi di Indonesia, penjajah Spanyol memecah belah persatuan umat Islam dan memberikan stigmatisasi yang buruk. Mereka menyebut orang-orang Islam di Filipina Selatan dengan sebutan Moro yang diambil dari kata Moor yang merujuk kaum Muslimin dalam sejarah Perang Salib.
Suku-suku diadu domba dengan pengaruh dan kekuasaan. Para Datuk yang menjadi penguasa dirasuah dengan pelbagai keuntungan serta hasutan perang suku. Tapi ada satu kekuatan yang ternyata mampu menyatukan mereka, dan itu adalah Islam. Agama Islam datang ke Filipina bukan dengan alasan penguasaan dan perampasan kekayaan, tapi dibawa dengan damai oleh pedagang dan pendakwah. Berbeza dengan Katholik yang disebarkan sebagai tulang punggung penjajahan Sepanyol.
Nama Filipina pun muncul dengan semangat penjajahan. Seorang awak kapal Sepanyol yang bernama Bernardo de la Torre memberi nama kepulauan ini dengan sebutan Filipinas, sebagai penghormatan kepada putra mahkota Sepanyol kala itu yang kelak bergelar Philip II. Kebencian orang-orang Sepanyol karena pernah ditaklukkan di Andalusia, rupanya terbawa sampai ke wilayah Nusantara. Bahkan ketika Philip II berkuasa, dalam suratnya yang dikirim untuk Conquisatador Legazpi, Raja Philip II mengizinkan penduduk Muslim diperbudak dan dirampas hartanya. Kebijakan ini hampir merata pada seluruh kepemimpinan Sepanyol di Filipina. Mereka menyebarkan kabar bahwa Islam ini adalah agama bid’ah, Islam adalah ajaran setan, kaum Muslimin adalah pembawa wabah penyakit dan lain sebagainya. Pendeta Jesuit Pio Pi menggambarkan kaum Muslimin sebagai bajak laut. Bahkan Pendeta Francisco Ducos pendakwah kristian di Illagan mengetuai pasukan militer dan selama tujuh tahun memerangi penduduk Muslim. Tapi kekuatan bersenjata Sepanyol yang demikian besar dan motivasi agama yang dikobar-kobarkan serta dicanangkan pemimpin Katholik, tak mampu menaklukkan wilayah Selatan.
Pertembungan kaum Muslimin yang diketuai oleh Sultan Sulu mampu mempertahankan wilayah ini selama peperangan yang berlangsung hampir tiga abad. Dalam peperangan yang panjang ini, terjadi solidaritas tinggi antara kaum Muslimin di seluruh wilayah Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan juga Brunei. Bahkan pada era 1638, Kesultanan Makassar dan Ternate berperan sangat besar dalam memberikan bantuannya kepada kaum Muslimin di Filipina.
Pada tahun 1638, ketika Gabernor Sepanyol, Corcuera menyerbu Sulu, Sultan Sulu yang bernama Raja Bongsu mendapat bantuan kiriman pasukan perajurit-perajurit Makassar yang gagah berani. Raja Bongsu memerintah sejak tahun 1612 dengan gelar Mawallil Wasit, dan sejak awal dia telah mendapat serangan dari Spaniard. Pada tahun 1628 misalnya, 200 perwira Sepanyol dengan 1.600 penduduk setempat yang berhasil dikristiankan menyerang Sulu dengan hebat. Tahun 1629, wilayah Sulu direbut antara Camarines, Samar, Leyte, dan Bohol. Pada tahun 1630, kembali Manila Spaniard menyerang, kali ini Jolo menjadi sasaran. Tapi Raja Bongsu berhasil memukul mundur bahkan melukai Lorenzo de Olaso, komandan pasukan dan mereka menarik mundur serangan. Di masa pemerintahan Raja Bongsu inilah terjadi paling banyak peperangan besar antara penjajah Kristen Spanyol dan Kesultanan Islam Sulu.
Perang Sabil, begitu rakyat Sulu menyebut zaman perang melawan kaum kafir Sepanyol. Hampir sama dengan penyebutan di Aceh, Prang Sabi. Tak jauh berbeza kerana sesungguhnya kita serumpun, satu ikatan, bahkan lebih besar lagi, satu akidah: Islam.
Tapi nampaknya perjuangan belum usai setelah Sepanyol berundur dari tanah Filipina. Sepanyol berhasil dikalahkan Amerika dan Sekutunya. Dalam Perjanjian Paris yang ditandatangani 10 Desember 1898, Sepanyol menyeranhkan Filipina kepada Amerika dengan $ 20 juta dolar. Sebenarnya, kelompok-kelompok perlawanan di Filipina pernah mengesahkan kemerdekaan pada 12 Juni 1898, tapi Amerika menolak dan tidak mengakuinya. Maka sejak 10 Desember 1898, Filipina berganti penjajah baru, Amerika Serikat. Amerika dikecam banyak negara Barat, kerana melanggar Doktrin Monroe yang menentang kolonialisme dan imperalisme. Tapi Amerika tak ambil pusing dengan semua gugatan dunia. Pada tahun 1919, sebuah delegasi pergi ke Amerika menuntut kemerdekaan untuk Filipina. Namun dengan sombongnya Amerika mengirimkan The Wood Forbes Mission pada tahun 1922 yang mengatakan, “Filipina belum mampu merdeka.”
Pada period berikutnya, Amerika mengalami kekalahan di wilayah Pasifik oleh negara Jepun. Pada tahun 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Jepun. Seperti yang diketahui, kekuasaan Jepun hanya setahun jagung. Akhirnya Jepun telah berjya dikalhkan dan Amerika masuk kembali ke Filipina. Pada 4 Julai 1946, Amerika melepaskan Filipina sebagai negeri jajahannya. Meskipun demikian, sampai hari ini Amerika masih meletakkan penjajahan secara halus dengan cara membangun fasiliti ketenteraan di Filipina.
Manuel Quezson menjadi presiden pertama Filipina. Hari itu tercatat sebagai hari kemerdekaan Filipina. Tapi tidak dengan kaum Muslimin di wilayah Selatan, mereka masih terjajah hingga hari ini. Ertinya, kaum Muslimin di Mindanao dan wilayah Selatan Filipina mengalami penjajahan dalam proses yang panjang. Pertama mereka dijajah Sepanyol, lalu Amerika Syarikat, setelah itu Jepun dan kembali lagi pada Amerika. Kini Bangsa Moro dijajah oleh pemerintah Filipina sendiri. Mereka dianiaya, dizalimi, dirampas dan ditindas.
Nasib kaum Muslimin di Mindanao tak pernah berubah, masih sama, terus terjajah. Bezanya hanya satu, kalau dulu, saudara Muslim dari Ternate, Makassar, Brunei, dan Malaysia datang membela, kini pembelaan yang dinanti itu belum tiba. Sekarang saatnya membela Muslim Filipina!
Sumber rujukan:
1.Mindanao News
2.Luwaran.com
3.Wikipedia
4.Buku-buku di MPH
No comments:
Post a Comment